sebuah perguruan tinggi yang baik adalah, bukan semata-mata terlihat dari penampilan fisik belaka yang megah bahkan glamour. Tapi yang lebih penting adalah, berkembang atau tidak tradisi ilmiah disana.
Sebuah perguruan tinggi sebeken dan semegah apapun sarana fisiknya, bila tak mampu mengembangkan tradisi ilmiah, sebenarnya tidak berkompeten menyelenggarakan pendidikan tinggi. Nah, untuk itu bagi kamu-kamu yang
baru saja lulus-lulusan dan akan masuk perguruan tinggi menjadi seorang mahasiswa, jangan terlalu silau melihat penampilan fisik sebuah perguruan tinggi, walau bermanfaat sebagai sarana penunjang. Tapi yang harus diperhatikan adalah kemampuan civitas academica-nya.
Bagaimana mungkin seorang yang baru lulus SMU tahu persis ihwal kemampuan civitas academica sebuah perguruan tinggi? Yang demikian tidak terlalu sulit, cukup melihat beberapa syarat saja. Misalnya apakah status akademis sebuah perguruan tinggi sudah disamakan atau terakreditasi atau belum. Bila sudah, niscaya perguruan tinggi yang demikian cukup kredibel.
Tapi juga banyak perguruan tinggi yang belum disamakan atau terakreditasi, tingkat kredibilitasnya tidak diragukan. Misalnya pada sebuah perguruan tinggi dimana para dosen, mahasiswa, atau alumnusnya banyak yang berprestasi, baik dari segi keilmuan, ekstrakulikuler atau pun profesi. Cara lain yang bias membantu kita untuk mengetahui kemampuan civitas academica sebuah perguruan tinggi adalah, seberapa jauh perguruan tinggi itu melakukan pengabdian pada masyarakat. Bila syarat-syarat ini terpenuhi, baik secara keseluruhan atau sebagian saja, perguruan tinggi tersebut tampaknya layak menjadi pilihan untuk tempat studi kamu.
Sumber: Majalah 2006 go to campus
Rabu, 29 September 2010
Civitas Akademica
Diposting oleh pasccapucca di 00.20 0 komentar
Mentalitas SMA di Dunia Universita
Saat yang cukup menegangkan yang kita semua pernah alami adalah saat kita diterima di tingkat pendidikan yang lebih tinggi dari SMA. Saat itu adalah data transisi kita dari seorang siswa menjadi seorang mahasiswa. Mungkin ini juga saat kita berubah dari seorang remaja menjadi seorang pemuda. Ini saat kita mulai menikmati pendidikan perguruan tinggi, dimana pendidikan yang diberikan seharusnya lebih masuk akal dan bisa digunakan dalam kehidupan kita. Tapi seringkali melintas kita dalam menghadapi dunia baru ini masih terikat dengan mentalitas dunia lama kita dalam menghadapi dunia baru ini masih terikat dengan mentalitas dunia lama kita. Mentalitas ini yang saya sebutkan sebagai mentalitas dunia.
Seorang siswa/siswi SMA umumnya mempunyai 3 buah pola pikir. Pertama, belajar ditujukkan agar mendapat nilai yang baik. Kedua, tujuan akhir dari berjuang di SMA adalah untuk dapat terjun ke dunia Universitas. Ketiga, kita mengikuti berbagai aktivitas berdasarkan “kesenangan” apa yang dapat kita raih dari aktivitas-aktivitas tersebut. Cara pandang seperti ini dapat kita terapkan dengan melangkahkan kaki memasuki dunia kuliah/universitas, ada beberapa cara pandang yang harus mulai diubah.
Wajar jika seseorang belajar untuk mendapatkan nilai yang baik. Justru keinginan untuk mendapatkan nilai yang baik tanpa berjuang itu merupakan hal yang tidak wajar. Tapi pertanyaan yang lebih lanjut yang perlu kita pertanyakan: setelah mendapatkan nilai yang baik, lantas apa? Apa signifikasi kita mendapatkan nilai yang baik? Mungkin untuk memuaskan orang tua, atau mungkin untuk kepuasan pribadi karena kita telah mencapai satu prestasi? Hanya dengan mempertanyakan semua jawaban kita secara kritis, barulah kita dapat mendapatkan intisari dari kenapa kita melakukan hal-hal yang kita lakukan. Pendapat yang ingin saya coba lemparkan disini adalah: Belajar untuk mendapat nilai yang baik saja tidak cukup. Ditahap kuliah sekarang ini, kita harus mulai memikirkan tentang apa yang kita pelajari, dan bagaimana kita merealisasikan apa yang kita pelajari. Apa arti mendapat nilai Filosofi yang baik tanpa mempunyai kemampuan untuk mempengaruhi cara pikir masyarakat mengenai etika? Apa arti mempunyai nilai Teknik Kimia yang baik tanpa mempunyai kemampuan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat di bidang Teknik Kimia itu? Untuk apa kita belajar dan apa yang harus kita pelajari.
Kedua pertanyaan ini seharusnya dipikirkan dengan cukup matang dan bijaksana sebelum kita memutuskan ilmu apa yang perlu kita pelajari. Dimasa kuliah ini, sudah saatnya membuat apa yang kita pelajari itu berarti dan punya nilai tambah. Kedua, pertanyaan tentang apa yang akan kita hadapi setelah kita selesai dengan dunia kuliah kita? Perbedaan yang mencolok antara lulus SMA dengan lulus Universitas adalah: setelah lulus SMA, kita akan terjun dalam perkuliahan. Perkuliahan dan SMA merupakan institusi pendidikan. Jadi tidah ada perbedaan yang mencolok atas “dunia baru” yang dihadapi setelah SMA. Namun tidak demikian halnya dengan lulus kuliah. Yang akan kita hadapi adalah masyarakat, dimana kesempatan dan tantangan terbuka sedemikian lebarnya. Apakah kita siap untuk terjun ke dunia itu? Kalau jawabannya belum, apa yang perlu kita persiapkan?
Terakhir adalah pertanyaan tentang arti dari kesibukan-kesibukan kita. Pada masa SMA, kegiatan-kegiatan ekstrakurikuler yang kita ikuti sering diakibatkan oleh kesenangan yang dapat kita peroleh. Untuk tingkat kuliah, saya rasa hal ini masih valid-valid aja. Hanya saja, motivasi ini kurag cukup. Karena tingginya tuntutan waktu yang harus kita dedikasikan untuk pekerjaan sekolah., kita diharuskan untuk lebih selektif memilih penggunaan waktu luang kita.
Intisari dari artikel ini adalah prinsip nilai. Mana yang kita atributkan sebagai sesuatu yang bernilai, dan mana yang kita atributkan sebagai sesuatu yang bernilai, dan mana yang kita atributkan sebagai sesuatu yang tidak bernilai. Konsep nilai kita di masa
SMA tidak seharusnya sama pada saat kita menginjak dunia kuliah. Tanggung jawab kita semakin besar, pengaruh kita semakin terasakan, terjun langsung kita ke masyarakat semakin mendesak, dan pemikiran kita harus semakin tajam. Menurut saya pada akhir studi kita nantinya, yang berarti bukan hanya betapa “indah” nilai yang kita peroleh, tapi betapa penuh kemampuan yang kita dapatkan nantinya digunakan.
Sumber : Cristopher Lucman (toto) majalah “2006 go to campus”
Diposting oleh pasccapucca di 00.07 0 komentar
Selasa, 28 September 2010
Seseorang dapat berpikir kapanpun dan dimanapun
Diposting oleh pasccapucca di 21.31 0 komentar